Jakarta.Jurnalisku.com - Pusat Monitoring Politik dan Hukum Indonesia (PMPHI) menilai, aksi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Indonesia yang melakukan demo di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (27/09/2021) kemarin, sudah membahayakan keselamatan masyarakat.
Pasalnya, aksi demonstrasi yang mengatasnamakan BEM se-Indonesia tersebut, dilakukan di tengah pandemi Covid-19 yang tengah melanda negeri ini. Selain itu, aksi mahasiswa itu sudah melanggar protokol kesehatan. Mereka mengabaikan anjuran pemerintah, sehingga bisa dijerat pidana.
Koordinator PMPHI, Gandi Parapat menegaskan, banyak dugaan pelanggaran pasal pidana oleh mahasiswa yang mengatasnamakan BEM se-Indonesia saat melakukan aksi demo besar - besaran tersebut. Pasal pelanggaran ini diterapkan saat memproses Habib Rizieq Shihab.
"Kalangan mahasiswa yang melakukan demo di tengah pandemi itu, dapat dijerat dengan pasal berlapis. Pasal - pasal ini pernah diterapkan aparat kita saat menyidik Habib Rizieq Shihab, saat memperingati hari besar keagamaan sekaligus pesta pernikahan putrinya," ujar Gandi Parapat kepada wartawan, Rabu (29/09/2021).
Gandi mengungkapkan pasal berlapis yang bisa diterapkan untuk menjerat pentolan aksi demonstrasi tersebut. Aksi mahasiswa itu ditengarai melanggar Pasal 160 KUHP juncto Pasal 93 Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kemudian, Pasal 216 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Pentolan aksi ini juga dapat dijerat Pasal 82A ayat (1) juncto 59 ayat (3) huruf c dan d UU RI Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 10 huruf b KUHP juncto Pasal 35 ayat (1) KUHP," tegasnya.
Menurut Gandi, aksi mahasiswa itu juga mengabaikan Instruksi Presiden (Inpres) Joko Widodo (Jokowi) dengan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19).
"Dalam Inpres tersebut, Presiden Jokowi menegaskan, bahwa pihak yang mengabaikan rambu-rambu kesehatan, melawan petugas saat diingatkan atau mengabaikan setelah mendapatkan sosialisasi, pendekatan kekeluargaan hingga sanksi administrasi maka terancam pidana. Kita sangat menyesalkan, kenapa kerumunan itu dibiarkan," ungkap Gandi lagi.
Gandi menyarankan, petugas kesehatan menggencarkan testing, tracing, dan treatment (3T) terhadap mahasiswa yang melakukan aksi demo besar - besaran tersebut. Soalnya, jauh hari sebelumnya, aparat juga pernah menemukan pendemo yang reaktif setelah melalui pemeriksaan kesehatan.
"Selain berpotensi membahayakan keselamatan masyarakat, aksi demo mahasiswa itu juga membahayakan kesehatan pegawai dan penyidik KPK, yang sedang galak dalam melakukan pemberantasan korupsi. Sadar atau tidak, aksi mahasiswa itu juga bisa mempengaruhi semangat pemberantasan korupsi," pungkas Gandi Parapat.
Oleh karena itu, Gandi Parapat kembali mengingatkan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Indonesia, supaya tidak tidak lagi mengultimatum Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pemberhentian 56 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lolos dalam tes wawasan kebangsaan (TWK).
Gandi Parapat juga mengingatkan Komnas HAM, Ombudsman maupun Indonesia Corruption Watch (ICW) untuk menghormati keputusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penolakan judicial review atas hasil tes wawasan kebangsaan (TWK) terhadap pegawai KPK. Sebab, keputusan itu sudah berkekuatan hukum tetap.
"PMPHI melihat ada upaya untuk membenturkan Presiden Jokowi dengan Ketua KPK Firli Bahuri terkait putusan MA dan MK tersebut. Hal yang sangat memiris, justru BEM ikut - ikutan mengultimatum Presiden Jokowi dengan memberikan tenggat waktu 3 x 24 jam untuk segera mengangkat 56 orang pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat (TMS)," ujar Gandi Parapat.
Gandi menduga, ada misi terselubung di balik ultimatum kalangan BEM tersebut. Ultimatum itu seharusnya tidak layak disampaikan kepada Kepala Negara, apalagi sampai diumumkan ke tengah publik. Seharusnya, BEM mewakili kalangan mahasiswa dapat berpikir secara intelektual, dan tidak terjebak dalam jurang penegakan hukum.
"Mungkin kalangan BEM, ICW, Ombudsman, Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), tidak menyadari dampak dari tudingan miring mereka terhadap pemerintahan, termasuk saat menyudutkan Ketua KPK Firli Bahuri melalui publikasi di berbagai medua, adalah merupakan tindakan yang melanggar hukum," ungkap Gandi Parapat.
Gandi menegaskan, pihak yang mengultimatum Presiden Jokowi maupun menyudutkan pemerintahan dan Ketua KPK, dapat dijerat pasal penghasutan. Untuk penerapan pasal ini justru dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun penjara. Oleh karena itu, semua pihak harus menghormati putusan hukum terkait pemberhentian 56 orang pegawai KPK tersebut.
Koordinator PMPHI, Gandi Parapat menyarankan, pihak yang selama ini menyudutkan lembaga antirasuah pimpinan Firli Bahuri, tidak lagi memaksa Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan pelanggaran hukum, apalagi sampai bertentangan dengan putusan MA dan MK. Sebab, Presiden Jokowi sudah menyerahkan permasalahan tersebut diselesaikan sesuai putusan hukum.
"Dari awalnya PMPHI sudah memastikan sangat tidak mungkin bahwa puluhan orang pegawai KPK yang tidak lulus TWK untuk diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN). Namun banyak pihak yang dengan sengaja membentuk opini di tengah masyarakat, bahwa masalah ini merupakan bentuk sentimen pribadi pimpinan KPK. Padahal, itu merupakan kewenangan Badan Kepegawaian Negara (BKN)," ujar Gandi Parapat.
Gandi juga mengapresiasi keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyerahkan persoalan 75 orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait tidak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan (TWK), harus mengikuti keputusan hukum di negeri ini.
Gandi Parapat menilai, keputusan Presiden Jokowi sesuai dengan semangat Undang - undang Dasar 1945. Keputusan Presiden itu juga sesuai dengan konstitusi negara. Keputusan itu sangat positif dalam menjadikan hukum sebagai panglima, dan menepis opini yang bisa menyesatkan lembaga negara.
"Dari awalnya saya sudah sering mengungkapkan ke publik, bahwa Ketua KPK Firli Bahuri tidak mempunyai kompeten untuk mengangkat 75 orang pegawai KPK agar bisa menjadi aparatur sipil negara (ASN). Alasannya sangat kuat karena mereka yang tidak lolos TWK, sangat mustahil jika diangkat menjadi ASN," ujar Gandi Parapat.
Gandi menyampaikan, pimpinan KPK tidak mempunyai kewenangan dalam mengangkat 75 orang pegawai KPK yang tidak lolos dalam tes wawasan kebangsaan. Untuk mengangkat aparatur sipil negara (ASN) merupakan kewenangan penuh lembaga pemerintah, yaitu Badan Kepegawaian Negara (BKN). Sedangkan KPK hanya diberikan mandat untuk menjalankan amanat UU.
“Bangsa ini menjunjung tinggi penegakan hukum. Negara ini tidak bisa diatur oleh orang perorang maupun suatu kelompok tertentu. Itu salah dan keliru. Yang perlu kita pahami bersama, bahwa negara kita telah memilih, hukum sebagai landasan utama. Karenanya, semua harus dijalankan sesuai ketentuan. Keputusan hukum dianggap benar bila putusan hukum itu sendiri tidak menggugurkannya,” sebut Gandi.
(Red/Dara/PW)